Sabtu, 15 April 2017

Makalah : Sinkritisme dan Aliran Kebatinan



SINKRITISME DAN ALIRAN KEBATINAN
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aliran Kebatinan

 

Dosen Pengampu: Lia Hilyatul Masrifah


Disusun Oleh :
          Ahmad David                                 (E06215004)
          Muhammad Fahrurrozi                    (E06215020)
          Farid Naser                                    (E96215032)





PROGRAM STUDI ILMU AQIDAH
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 
2016



KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami. sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah Sejarah Islam Indonesia ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Sinkritisme dan Aliran Kebatinan.
Makalah ini berisikan tentang pembahasan pengertian definisi sinkretisme, budaya Islam sinkretisme, awal mula terjadinya sinkretisme dan penyebab terjadinya sinkretisme.
Kami para penyusun makalah  menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amiin.

Surabaya,      September 201

              penyusun


















DAFTAR ISI

KataPengantar........................................................................i
Daftar Isi................................................................................ii

Bab I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang............................................................. 1
  2. Rumusan Masalah ....................................................... 1
  3. Tujuan ......................................................................... 1
Bab II
PEMBAHASAN
       A. Pengertian Sinkretisme...............................................
       B. Budaya Islam Sinkretis................................................
       C.  Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa.....
       D. Bentuk-Bentuk Sinkretisme.............................................
       E. Dakwah Sinkretisme Sunan Kalijaga................................
Bab III
PENUTUP
Kesimpulan ...............................................................................

DAFTAR PUSTAKA















BAB I
PENDAHULUAN

A.                          Latar Belakang
Paham kebatinan telah lama ada di tengah masyarakat Indonesia. Islam sebagai agama Indonesia khususnya di pulau Jawa ternyata di sana agama Islam hanyalah warna. Mereka yang mengaku Islam dan mengaku santri juga masih banyak dijumpai melakukan kepercayaan nenek moyang mereka. Pada saat ini organisasi-organisasi kebatinan masih tetap menunjukan perkembangannya dengan berbagai bentuk ajaran dan ajaran praktik yang berbeda-beda. Meskipun bentuk dan cara kebatinan mereka beranekaragam tetapi gerakan kebatinan ritual mereka secara khas berbeda namun pada hakikatnya apa yang mereka lakukan merupakan tindakan mistis yang berakar pada nilai kejawen yang sama.
B.                          Rumusan Masalah
1.      Apa Definisi dari Sinkretisme ?
2.      Bagaimana terjadinya Sinkretisme ?
3.      Apa saja bentuk-bentuk Sinkretisme ?
C.                          Tujuan
1.      Untuk mengetahui arti dari Sinkretisme
2.      Untuk mengetahui bagaimana terjadinya Sinkretisme
3.      Untuk mengetahui bentuk-bentuk Sinkretisme
















BAB II
PEMBAHASAN
 
A.  Definisi Sinkritisme
Sinkretisme berasal kata Syin dan Kretiozein yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan. Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih dan terjadi lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama.[1] Terjadinya percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan pada tradisi yang diikut sertakan. Dalam studi ini sinkretisme dipahami sebagai percampuran antara Islam dengan unsur-unsur tradisi lokal.
Dalam pandangan Koentjaraningrat sinkretisme merupakan watak asli agama jawi. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perjalanan hidup orang jawa yang akan selalu menerima masukan pengaruh dari luar. Kebudayaan memang merupakan suatu terpadunya unsur-unsur budaya yang berbeda dalam suatu kebudayaan. Diterimanya unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya jawa inilah yang dapat menimbulkan suburnya sinkretisme dalam budaya masyarakat jawa.
Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan agama guna menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian. Gunkel, Harnadc dan Bultmann menggunakan istilah sinkretisme secara luas untuk menggambarkan Kekristenan sebagai suatu agama Synkretistic, karena mengasimilasi konsep Judaistis, Hellenistis dan Gnostik. Adapun seorang tokoh aliran kepercayaan yakni Simuh menambahkan bahwa singkritisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karna itu, mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu aliran sekte dan bahkan agama.
Istilah singkritisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut “mencampuradukkan agama-agama”. Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa Syncretistic berarti tending to reconcile different belifts,  as philosophy and religion. [2] sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan.

Paham disini bisa berupa aliran, kepercayaan bahkan agama bahkan secara gamblang bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama.  Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan di Indonesia ini: Hindu-Buddha, Kristen, Khatolik, dan Islam bertentangan ajarannya, kemudian dicarilah masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidak toleran, dari situlah perbedaan itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh semua agama benar.
Sinkretisme jika diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam) maka ia akan mengerucut dalam satu titik bernama “Teologi Pluralis”. Adapun jika ada diterapkan dalam suatu tradisi jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai “Islam Kejawen”. Sejarah mencatat bahwa dari abad ke-13 sampai ke-17 Islam masuk dan menjadi kekuatan penting di nusantara. Islam bahkan menjadi simbol era baru ketika melembaga dalam bentuk kerajaan dan berhadapan atau memiliki keterkaitan dengan kekuasaan yang sebelumnya bercorak hindu.
Sejak itu istilah menjadi hegemoni baru di kepulauan nusanatara pasca kejayaan hindu.[3] Terdapat kecenderungan bahwa pusat-pusat kekuasaan hindu yang kuat dan meninggalkan akomodasi sosio-kultural dan politik yang kuat, Islam lahir dalam bentuknya yang sinkritis seperti yang berkembang di Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur bagian pedalaman yang mendapat pengaruh kuat dari kekuasaan Mataram dan Majapahit. Proses tersebut berlangsung melalui alkulturasi atau adaptasi kultural yang relatif harmonis atau bersifat komplementer. Kendati dari sisi salafiyah yang muncul dikemudian hari, Islam sinkritis tersebut dapat dipandang sebagai keputusan atau perubahan (ketercemaran) karena tidak lagi memancarkan watak Islam yang asli atau Puritan.[4]
B.  Budaya Islam Sinkretis
  Sistem budaya yang dibawa oleh kelompok petani abangan sinkretis adalah sistem budaya yang menggambarkan percampuran antara budaya Islam dengan budaya lokal. Budaya Islam sinkretis merupakan gambaran suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni. Sebagai contoh budaya sinkretis yang diwujudkan antara lain dalam bentuk tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, tedun, wayanga, golek dina, sesaji, ngalap berkah, cari dukun dan seterusnya dari dulu hingga sekarang tidaklah sama. Namun demikian tradisi yang turun temurun tetap memperlihatkan adanya benang merah yaitu hadirnya doa-doa Islami sebagai roh serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah dalam budaya Islam sinkretis.
Islam singkretis sebagai kebudayan lokal tampaknya lebih merupakan objek yng tertekan oleh sistem budaya islam puritan yang bersifat ekspansif. Namun demikian secara substantif islam singkretis juga mengimbangi dengan suatu asistensi terutama yang menyangkut sistem kepercayaan dan institusi – institusi sosial dalam bentuk kultur jawa.
Jika diperhatikan proses singkretisasi yang berlangsung antara budaya jawa dan budaya islam dapat berjalan dengan mulus karena berada dalam tatanan simbolis. Dalam artian islamisasi jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar (wadah, kulit luar) tetapi diarahkan kepada keharusan (isi, inti). Islam di jawa bercorak singkretis dalam arti terdapat perpaduan di antara dua atau lebih budaya misalnya budaya hindu budha dan animisme.[5]
 Sebagaimana dinyatakan Geertz agama jawa ini tampak dari luar adalah islam tetapi setelah di lihat secara mendalam kenyataannya adalah agama singkretis. Sikap toleran dan akomodatif terhadap budaya lokal memang di satu sisi di anggap membawa dampak negatif. Pasalnya pencampuradukan antara Islam dan budaya lokal sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar ajaran Islam dan aman yang berasalah dari tradisi masyarakat. Tetapi dipihak lain juga berdampak positif, artinya ajaran ang di sinkretiskan tadi telah menjadi jembatan yang memudahkan pihak Islam terutama dikalangan pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran budaya jawa, sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada masyarakat jawa. Paling tidak hal ini tercermin dalam beragam kesenian jawa yang bernafaskan Islam.
Dalam islam singkretis terlihat bahwa namanya islam tetapi di dalamnya terkandung ajaran hindu budha dan animisme. Mulder meminjam concise oxford dictionary untuk mendevinisikan singkretisme yakni usaha untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan dan menciptakan persatuan antar sekte sekte. [6]
Konsepsi Geertz menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan suatu kerangka interpretasi tindakan manusia.[7] Pernyataan Geertz menunjukkan bahwa simbol-simbol keagamaan memformalisasikan adanya suatu kesesuaian mendasar tentang tipe kehidupan pertikular dengan pemikiran yang dapat menjadikn sintesa antara lain: etos masyarakat, tradisi, estetika, ide-ide yang terlontar sebagai bentuk pandangannya. Geertz melihat sistem simbol keagamaan dapat dielaborasikan melalui berbagai cara. Salah satu cara yang umum dipakai kebanyakan agama adalah melalui ritual. Melalui ritual inilah ‘dunia sebagaimana yang dibayangkan’ (as imagined) dan ‘dunia sebagaimana yang dialami’ (as lived) dipadukan melalui perbuatan-perbuatan dalam bentuk simbol.[8]
Simbol mempunyai peranan yang amat penting dalam kajian kebudayaan. Pemikiran Geertz[9] tentang kebudayaan membahas sistem simbol yang diciptakan manusia, yang secara konvensional digunakan secara bersama-sama, teratur dan benar-benar dipahami, memberi manusia suatu kerangka yang penuh makna untuk mengorientasikan dirinya terhadap lingkungannya. Di samping itu, yang lebih penting adalah bahwa simbol digunakan manusia untuk mengorientasikan dirinya sendiri, sekaligus sebagai produkdari interaksi sosial. Ia bisa diibaratkan sebagai program komputer yang berfungsi untuk pengoperasian. Dengan demikian, simbol merupakan suatu formula yang terlihat dari berbagai pemikiran atau perwujudan kongkret dari gagasan, sikap, keputusan, kerinduan, atau keyakinan.
C.  Munculnya Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan dengan masuknya Islam di Jawa. Ada tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang sejarah sinkretisme Islam-Jawa.
Pertama, pada waktu itu sejarah Islam tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol)
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. masyarakat Jawa lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi sistem kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang diyakini sebagai pencipta alam.
Pada masa awal sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu, baru kemudian Islam masuk ke ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada abad XVI sekaligus sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha penyiaran Islam yang dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan politik. Dan secara keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang sudah ada ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada waktu itu untuk menyebarkan Islam
 Di jawa pernah terjadi penggabungan dua agama yaitu agam Budha dan Hindu (Siwa). Kedua agama tersebut memiliki persamaan dan sekaligius perbedaan. Namun dalam kurun waktu tertentu masyarakat jawa telah mengamalkan kedua agama ini sekaligus. Sinketisme agama dengan unsur-unsur luar, walaupun tidak di kehendaki oleh sebagian ulama dan tokoh agama telah merambah pada semua agama, termasuk ritual. Oleh karena itu meskipun semua orang islam mengatakan bahwa dalam beragama mereka selalu berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kenyataannya menunjukan bahwa disetiap tempat dapat dijumpai amalan Islam yang khas dan berbeda karakter bila dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya dan begitu juga Islam dalam masyarakat jawa.[10]
Persoalan sinkretisme menjadi menarik karena sinkretisme nampaknya merupakan fenomena yang umum terjadi ketika dua sistem keyakinan atau lebih saling bertemu. Hal serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli di samping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan yang telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis atau pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara menyolok seperti tersebut di atas.[11] Sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak. Faktor yang paling menonjol dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak. Sebelum hadir agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan kepercayaan animisme dan dinamisme Agama ini disebut asli karena berasal dan berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti kapan munculnya dan siapa pendirinya.

D.  Contoh-contoh sinkretisme
 Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah sinkretisme, berikut ini diuraikan beberapa contoh:
1.      Menggabungkan dua agama atau lebih
dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya,[12] misalnya aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut: “Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad, anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
2.      Bidang ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan upacara peralihan yang berupa slametan, makan bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus.  Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
            Adapun bentuk-bentuk dalam bidang ritual masyarakat yang masih dilakukan saat ini yaitu :
2.1  Upacara Midodareni
        Upacara Midodareni misalnya, adalah suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan. Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat dalam beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan dan keplek sampai pagi.
       2.2 Upacara brokohan dan sepasaran
            Dalam Islam, ketika seorang bayi lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan (diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.[13]
3.      Dalam doa dan mantera
Salah satu jasa Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa :
     3.1 Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim “jabarail sumurup maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah ta’ala.cikantik macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking Allah.ia ilaha illa’llah Muhammad Rosulu’llah”. Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan memakan 80 biji kecipir
3.2  Mantera atau doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim. “Cur mncur cahyaning Allah, sungsum balung rasaning pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot lamat-lamat rsaning pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring allah jatining manungsa,ules pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan allah sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .
E.  Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga
    Sebelum Hindu datang ke Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki budayanya sendiri yang terlepas sama sekali dari tradisi lain maupun agama. Akan tetapi, dengan datangnya agama Hindu, budaya Jawa kemudian berbaur dengan tradisi Hindu sehingga kelak lahirlah apa yang dinamakan dengan kebudayaan Hindu-Jawa. Setelah Islam datang ke Jawa, Islam juga berbaur dengan tradisi Hindu Jawa ini, dan di sinilah terjadinya sinkretisasi antara Islam dan budaya setempat Demikian pula Sunan Kalijaga sebagai orang asli Jawa, dia berpikir dia menawarkan penggunaan budaya Jawa dalam menyebarkan Islam sinkretisasi, antara Islam dan tradisi atau budaya Jawa dalam proses penyebaran Islam yang pernah dipraktikkan Sunan Kalijaga salah satunya adalah dengan wayang.
Wayang merupakan salah satu komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks dan canggih Memang, ada sisi lain yang dipandang sebagai sisi negatif dari wayang, yaitu munculnya nilai-nilai syirik ketika dipadukan dengan ajaran Islam. Karena itu, muncullah berbagai kritik terhadap ajaran yang mencoba memadukan antara tradisi Jawa yang termuat dalam wayang dengan ajaran Islam, seperti Sunan Kalijaga.
Menurut Mark, hal ini penting dijernihkan agar pandangan negatif tersebut tidak menjalar. Penjelasan ini penting dalam arti agar mereka memahami betul bagaimana sinkretisasi yang dilakukan Sunan Kalijaga.[14] kita perlu mengelaborasi pemanfaatan kisah wayang dalam penyebaran Islam menurut Sunan Kalijaga. Apa yang dilakukan Sunan Kalijaga mestinya dilihat bukan dari segi sinkretisnya dalam arti negatif, sebagaimana diduga sebagian kalangan orang, yang harus dilihat adalah dari segi inovasinya dan dialognya dengan budaya ulasan singkat dari kisah pewayangan yang diadopsi dari tradisi Hindu-Jawa. Jika demikian, pemanfaatan seni wayang oleh Sunan Kalijaga sangat tepat digunakan sebagai sarana penyebaran ajaran Islam. Hal ini dilihat dari dua hal:
a. bertolak pada tipologi Geertz, wayang adalah ciri khas dari seni yang halus, dan seni ini paling populer di masyarakat. Dalam hal ini, berarti Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam menggunakan pendekatan yang halus dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masanya. Pendekatan ini, dari segi nilai, tampaknya relevan dengan ajaran Islam yang secara normatif menganjurkan agar kita mengajak umat untuk masuk Islam menggunakaan cara-cara
mau’idlah hasanah, bukan dengan kekerasan. Tradisi penyebaran Islam di negara-negara lain, pada umumnya,menggunakan pendekatan militeristik, terutama di derah Timur Tengah ketika Islam melakukan ekspansi ke daerah-daerah tetangga;
b. Penggunan seni wayang sebagai sarana penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga menunjukkan kelihaian Sunan Kalijaga dalam memadukan unsur-unsur Islam dan unsur-unsur budaya setempat, terutama dalam konteks masyarakat yang telah hidup dengan tradisi. Hal ini mengasumsikan bahwa budaya atau tradisi tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang lepas dari diri manusia. Tradisi merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia, bahkan tanpa tradisi, manusia tidak mungkin bisa hidup. Ungkapan yang pas untuk menggambarkan hubungan manusia dengan tradisi setempat bahwa manusia adalah bagian dari tradisi, bukan sebaliknya, tradisi bagian dari manusia. Artinya, manusia berada di bawah kendali tradisi. Oleh karena itu, menyebarkan Islam melalui jalan non-kompromis terhadap tradisi, menurut peneliti, tampaknya mustahil terealisasi.

Hanya saja, perlu diketahui lebih jauh, adopsi kisah pewayangan tidak berarti mengambil kisah itu secara mentah-mentah. Sunan Kalijaga mendialogkkan nilai-nilai Islam dengan budaya setempat. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga menjalankan tradisi sebagaimna disenangi masyarakat Jawa, tetapi muatan dan karakternya diisi dengan nilai-nilai Islam. Cara yang ditawarkan oleh Sunan Kalijaga, misalnya, persyaratan masuk menonton bukan membayar uang sebagaimana biasanya, melainkan dengan membaca kalimat syahadat.
Sekarang, mari kita beralih pada muatan filosofis dari tradisi wayang. Dalam konteks ini, kita akan berbicara menyangkut isi dari apa yang ditawarkan Sunan kalijaga. Sebenarnya sangat banyak pesan-pesan filosofis yang ditawarkan Sunan Kalijaga. Satu di antaranya, sebagaimana dibicarakan di atas, adalah tradisi wayang. Di dalam kitab tentang Sunan Kalijaga, terutama menyangkut wayang, dinyatakan sebgai berikut:
“Jangan begitu orang hidup. Badanmu bagaikanwayang yang dipentaskan di atas panggung. Keindahan tali pengikat kelir melambangkan angin. Lampu yang menerangi panggung bentangan kelir melambangkan bulan. Yang menonton melingkari gedung. Batang pisang sebagai bumi, tempat tegaknya wayang, disangga oleh penanggap.” Pernyataan ini memberikan pesan bahwa Sunan Kalijaga melakukan analogi antara badan manusia dengan wayang. Badan dilambangkan sebagai wayang.
Artinya, tradisi wayang hanya kulit luarnya saja dalam kehidupan. Adalah tugas kita untuk mengisi muatan dari wayang tersebut. Kita, kata Nabi, jangan hanya melihat kulit luarnya, sebab Allah tidak melihat kulit luarnya, seperti wajahmu, melainkan melihat hatimu. Artinya, janganlah melihat tradisi wayangnya, tetapi lihatlah isi dari apa yang ditayangkan dalam pewayangan. Jika dalam kisah Mahabarata memuat kisah legendaris versi Hindu, sebaliknya, di dalam pewayangan yang ditampilkan Sunan Kalijaga, memuat ajaran Islam.


[1] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan, (Yogyakarta:Gama Media,2000)hal,83
[2] http://theologyfaculty.blogspot.co.id/2012/05/sinkretisme-aliran-dan-agama.html?m=1
[3] Sutiyono,Puritan dan Sinkritisme,(Jakarta:Kompas Media Nusantara,2010)hal, 71
[4] Ibid, hal, 72
[5] Sutiyono, Puritan dan Sinkretisme,(Jakarta:,kompas, 2010)hal,73


[6] Niels Mulder, Sinkretisme Agama atau Agama Asia Tenggaraa,(basis:1992)hal, 285
[7] Clifford Geertz. 1970. The Interpretation of culture. New York: Basic Books, pp. 87-125
[8] Ibid., p. 112.
[9] Geertz, op. cit., p. 250.
[10] http://bangunaninteletual.wordpress.com/2008/05/16/sinkretisme-sebagai-bentuk-dan-ciri-islam-jawa/
[11] J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia, Yogyakarta: Puskat, hlm. 217-218.
[12] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000)hal,97
[13] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:Gama Media, 2000),  hlm 99-100
[14] Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan(Yogyakarta: LKiS, 1999), hal. 319