SINKRITISME DAN ALIRAN KEBATINAN
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aliran Kebatinan
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aliran Kebatinan
Dosen
Pengampu:
Lia Hilyatul Masrifah
Disusun Oleh :
Ahmad David (E06215004)
Muhammad Fahrurrozi (E06215020)
Farid Naser (E96215032)
PROGRAM STUDI ILMU AQIDAH
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya
kepada kami. sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah Sejarah Islam
Indonesia ini yang Alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul Sinkritisme
dan Aliran Kebatinan.
Makalah
ini berisikan tentang pembahasan pengertian definisi sinkretisme, budaya Islam
sinkretisme, awal mula terjadinya sinkretisme dan penyebab terjadinya
sinkretisme.
Kami para
penyusun makalah menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak
yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima
kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini
dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita.
Amiin.
Surabaya, September
201
penyusun
DAFTAR ISI
KataPengantar........................................................................i
Daftar Isi................................................................................ii
Bab I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang............................................................. 1
- Rumusan Masalah ....................................................... 1
- Tujuan ......................................................................... 1
Bab II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sinkretisme...............................................
A. Pengertian Sinkretisme...............................................
B. Budaya Islam Sinkretis................................................
C.
Munculnya Islam
sinkretik dalam masyarakat Jawa.....
D. Bentuk-Bentuk
Sinkretisme.............................................
E. Dakwah Sinkretisme Sunan
Kalijaga................................
Bab III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
...............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Paham kebatinan telah lama ada di tengah masyarakat Indonesia. Islam
sebagai agama Indonesia khususnya di pulau Jawa ternyata di sana agama Islam
hanyalah warna. Mereka yang mengaku Islam dan mengaku santri juga masih banyak dijumpai
melakukan kepercayaan nenek moyang mereka. Pada saat ini organisasi-organisasi
kebatinan masih tetap menunjukan perkembangannya dengan berbagai bentuk ajaran
dan ajaran praktik yang berbeda-beda. Meskipun bentuk dan cara kebatinan mereka
beranekaragam tetapi gerakan kebatinan ritual mereka secara khas berbeda namun
pada hakikatnya apa yang mereka lakukan merupakan tindakan mistis yang berakar
pada nilai kejawen yang sama.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
Definisi dari Sinkretisme ?
2. Bagaimana
terjadinya Sinkretisme ?
3. Apa
saja bentuk-bentuk Sinkretisme ?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui arti dari Sinkretisme
2. Untuk
mengetahui bagaimana terjadinya Sinkretisme
3. Untuk
mengetahui bentuk-bentuk Sinkretisme
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Definisi
Sinkritisme
Sinkretisme berasal kata Syin dan Kretiozein yang
berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.
Sinkretisme merupakan percampuran antara dua tradisi atau lebih dan terjadi
lantaran masyarakat mengadopsi suatu kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak
terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama.[1] Terjadinya percampuran tersebut biasanya melibatkan sejumlah perubahan
pada tradisi yang diikut sertakan. Dalam studi ini sinkretisme dipahami sebagai
percampuran antara Islam dengan unsur-unsur tradisi lokal.
Dalam pandangan Koentjaraningrat sinkretisme merupakan
watak asli agama jawi. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah perjalanan hidup
orang jawa yang akan selalu menerima masukan pengaruh dari luar. Kebudayaan
memang merupakan suatu terpadunya unsur-unsur budaya yang berbeda dalam suatu
kebudayaan. Diterimanya unsur-unsur budaya luar ke dalam budaya jawa inilah
yang dapat menimbulkan suburnya sinkretisme dalam budaya masyarakat jawa.
Kemudian Istilah ini juga dipakai di dalam bidang filsafat dan agama guna
menggambarkan suatu keharmonisan dan perdamaian. Gunkel, Harnadc dan Bultmann
menggunakan istilah sinkretisme secara luas untuk menggambarkan Kekristenan
sebagai suatu agama Synkretistic, karena mengasimilasi konsep Judaistis,
Hellenistis dan Gnostik. Adapun seorang tokoh aliran kepercayaan yakni Simuh
menambahkan bahwa singkritisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan
yang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Oleh karna itu,
mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama, yang tentu
saja berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan dijadikannya sebagai satu
aliran sekte dan bahkan agama.
Istilah singkritisme dalam hal agama oleh Berkhof dan Enklaar disebut
“mencampuradukkan agama-agama”. Josh McDowell dalam bukunya menyebut bahwa Syncretistic
berarti tending to reconcile different belifts, as philosophy and religion. [2]
sinkretisme berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan dan
pertentangan-pertentangan yang signifikan antara beberapa paham yang berlainan.
Paham disini bisa berupa aliran, kepercayaan bahkan agama bahkan secara
gamblang bisa dikatakan bahwa paham ini adalah usaha pluralisme agama. Sebut saja begini, agama-agama yang berlainan
di Indonesia ini: Hindu-Buddha, Kristen, Khatolik, dan Islam bertentangan
ajarannya, kemudian dicarilah masing-masing agama perbedaan yang mencolok yang
berpotensi menimbulkan perpecahan dan ketidak toleran, dari situlah perbedaan
itu akan dilebur dan disatukan kembali menjadi sesuatu yang satu dan utuh semua
agama benar.
Sinkretisme jika
diterapkan oleh umat berlainan agama (Yahudi, Nasrani, dan Islam) maka ia akan
mengerucut dalam satu titik bernama “Teologi Pluralis”. Adapun jika ada
diterapkan dalam suatu tradisi jawa yang agama aslinya adalah Islam, maka akan
tercipta aliran Islam yang tidak lagi murni dan biasa dikenal sebagai “Islam
Kejawen”. Sejarah mencatat bahwa dari abad ke-13 sampai ke-17 Islam masuk dan
menjadi kekuatan penting di nusantara. Islam bahkan menjadi simbol era baru
ketika melembaga dalam bentuk kerajaan dan berhadapan atau memiliki keterkaitan
dengan kekuasaan yang sebelumnya bercorak hindu.
Sejak itu istilah menjadi hegemoni baru di kepulauan nusanatara pasca
kejayaan hindu.[3]
Terdapat kecenderungan bahwa pusat-pusat kekuasaan hindu yang kuat dan
meninggalkan akomodasi sosio-kultural dan politik yang kuat, Islam lahir dalam
bentuknya yang sinkritis seperti yang berkembang di Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jawa Timur bagian pedalaman yang mendapat pengaruh kuat dari kekuasaan Mataram
dan Majapahit. Proses tersebut berlangsung melalui alkulturasi atau adaptasi
kultural yang relatif harmonis atau bersifat komplementer. Kendati dari sisi
salafiyah yang muncul dikemudian hari, Islam sinkritis tersebut dapat dipandang
sebagai keputusan atau perubahan (ketercemaran) karena tidak lagi memancarkan
watak Islam yang asli atau Puritan.[4]
B. Budaya
Islam Sinkretis
Sistem budaya yang dibawa oleh
kelompok petani abangan sinkretis adalah sistem budaya yang menggambarkan
percampuran antara budaya Islam dengan budaya lokal. Budaya Islam sinkretis
merupakan gambaran suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang
murni. Sebagai contoh budaya sinkretis yang diwujudkan antara lain dalam bentuk
tradisi slametan, tahlilan, yasinan, ziarah, metik, tedun, wayanga, golek
dina, sesaji, ngalap berkah, cari dukun dan seterusnya dari dulu hingga
sekarang tidaklah sama. Namun demikian tradisi yang turun temurun tetap
memperlihatkan adanya benang merah yaitu hadirnya doa-doa Islami sebagai roh
serta perangkat-perangkat lokal sebagai wadah dalam budaya Islam sinkretis.
Islam singkretis sebagai kebudayan lokal tampaknya lebih merupakan objek
yng tertekan oleh sistem budaya islam puritan yang bersifat ekspansif. Namun
demikian secara substantif islam singkretis juga mengimbangi dengan suatu
asistensi terutama yang menyangkut sistem kepercayaan dan institusi – institusi
sosial dalam bentuk kultur jawa.
Jika diperhatikan proses singkretisasi yang berlangsung antara budaya
jawa dan budaya islam dapat berjalan dengan mulus karena berada dalam tatanan
simbolis. Dalam artian islamisasi jawa tidak dilakukan pada tataran yang kasar
(wadah, kulit luar) tetapi diarahkan kepada keharusan (isi, inti). Islam di
jawa bercorak singkretis dalam arti terdapat perpaduan di antara dua atau lebih
budaya misalnya budaya hindu budha dan animisme.[5]
Sebagaimana dinyatakan Geertz agama
jawa ini tampak dari luar adalah islam tetapi setelah di lihat secara mendalam
kenyataannya adalah agama singkretis. Sikap toleran dan akomodatif terhadap
budaya lokal memang di satu sisi di anggap membawa dampak negatif. Pasalnya
pencampuradukan antara Islam dan budaya lokal sehingga sulit untuk membedakan
mana yang benar-benar ajaran Islam dan aman yang berasalah dari tradisi
masyarakat. Tetapi dipihak lain juga berdampak positif, artinya ajaran ang di
sinkretiskan tadi telah menjadi jembatan yang memudahkan pihak Islam terutama
dikalangan pesantren untuk mengenal dan memahami pemikiran budaya jawa,
sehingga memudahkan mereka dalam mengajarkan dan menyiarkan Islam kepada
masyarakat jawa. Paling tidak hal ini tercermin dalam beragam kesenian jawa
yang bernafaskan Islam.
Dalam islam singkretis terlihat bahwa namanya islam tetapi di dalamnya
terkandung ajaran hindu budha dan animisme. Mulder meminjam concise oxford
dictionary untuk mendevinisikan singkretisme yakni usaha untuk
menghilangkan perbedaan-perbedaan dan menciptakan persatuan antar sekte sekte. [6]
Konsepsi Geertz menyebutkan bahwa agama merupakan bagian dari sistem
kebudayaan, dalam arti agama merupakan pedoman yang dijadikan suatu kerangka
interpretasi tindakan manusia.[7]
Pernyataan Geertz menunjukkan bahwa simbol-simbol keagamaan memformalisasikan
adanya suatu kesesuaian mendasar tentang tipe kehidupan pertikular dengan
pemikiran yang dapat menjadikn sintesa antara lain: etos masyarakat, tradisi,
estetika, ide-ide yang terlontar sebagai bentuk pandangannya. Geertz melihat
sistem simbol keagamaan dapat dielaborasikan melalui berbagai cara. Salah satu
cara yang umum dipakai kebanyakan agama adalah melalui ritual. Melalui ritual
inilah ‘dunia sebagaimana yang dibayangkan’ (as imagined) dan ‘dunia
sebagaimana yang dialami’ (as lived) dipadukan melalui
perbuatan-perbuatan dalam bentuk simbol.[8]
Simbol mempunyai peranan yang amat penting dalam kajian kebudayaan.
Pemikiran Geertz[9]
tentang kebudayaan membahas sistem simbol yang diciptakan manusia, yang secara
konvensional digunakan secara bersama-sama, teratur dan benar-benar dipahami,
memberi manusia suatu kerangka yang penuh makna untuk mengorientasikan dirinya
terhadap lingkungannya. Di samping itu, yang lebih penting adalah bahwa simbol
digunakan manusia untuk mengorientasikan dirinya sendiri, sekaligus sebagai
produkdari interaksi sosial. Ia bisa diibaratkan sebagai program komputer yang
berfungsi untuk pengoperasian. Dengan demikian, simbol merupakan suatu formula
yang terlihat dari berbagai pemikiran atau perwujudan kongkret dari gagasan,
sikap, keputusan, kerinduan, atau keyakinan.
C. Munculnya
Islam sinkretik dalam masyarakat Jawa
Membaca lahirnya sinkretisme Islam-Jawa ada baiknya jika dihubungkan
dengan masuknya Islam di Jawa. Ada
tiga hal yang sangat penting untuk diketahui berkaitan dengan latar belakang
sejarah sinkretisme Islam-Jawa.
Pertama, pada waktu itu sejarah Islam
tercatat dalam periode kemunduran. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah oleh serangan
Mongol pada 1258 M., dan tersingkirnya Dinasti Al-Ahmar (Andalusia/Spanyol)
Kedua, pandangan hidup masyarakat Jawa sangat tepo seliro
dan bersedia membuka diri serta berinteraksi dengan orang lain. masyarakat Jawa
lebih menekankan sikap atau etika dalam berbaur dengan seluruh komponen bangsa
yang bermacam-macam suku dan bahasa, adat dan termasuk agama. Karena manusia
Jawa sadar bahwa tak mungkin orang Jawa dapat hidup sendiri.
Ketiga, sebelum Islam membumi di Jawa, yang membingkai corak
kehidupan masyarakat adalah agama Hindu-Budha serta kepercayaan animisme maupun
dinamisme. Hindu, Budha, animisme maupun dinamisme yang menjadi sistem
kepercayaan atau agama tentunya (sesuai agama-agama lain) telah mengajarkan
konsep-konsep religiusitas yang mengatur hubungan menusia dengan Tuhan yang
diyakini sebagai pencipta alam.
Pada masa awal
sinkretisasi Islam-Jawa, agama Islam lebih dulu kuat di pedesaan. Setelah itu,
baru kemudian Islam masuk ke ranah perpolitikan. Berdirinya Kerajaan Demak pada
abad XVI sekaligus sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa adalah bukti usaha
penyiaran Islam yang dipelopori oleh Walisongo dengan membangun kekuatan
politik. Dan secara keseluruhan model-model etika menghormati kepercayaan yang
sudah ada ditekankan sekali, dan sinkretisme-lah metode yang paling tepat pada
waktu itu untuk menyebarkan Islam
Di jawa pernah terjadi
penggabungan dua agama yaitu agam Budha dan Hindu (Siwa). Kedua agama tersebut
memiliki persamaan dan sekaligius perbedaan. Namun dalam kurun waktu tertentu
masyarakat jawa telah mengamalkan kedua agama ini sekaligus. Sinketisme agama
dengan unsur-unsur luar, walaupun tidak di kehendaki oleh sebagian ulama dan
tokoh agama telah merambah pada semua agama, termasuk ritual. Oleh karena itu
meskipun semua orang islam mengatakan bahwa dalam beragama mereka selalu
berpedoman pada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kenyataannya menunjukan bahwa
disetiap tempat dapat dijumpai amalan Islam yang khas dan berbeda karakter bila
dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya dan begitu juga Islam dalam
masyarakat jawa.[10]
Persoalan
sinkretisme menjadi menarik karena sinkretisme nampaknya merupakan fenomena
yang umum terjadi ketika dua sistem keyakinan atau lebih saling bertemu. Hal
serupa juga terjadi dengan Islam. Ketika Islam memasuki Indonesia, dan
khususnya Jawa, ia juga mengalami proses sinkretisasi dengan agama asli di samping bersinkretis dengan kepercayaan-kepercayaan
yang telah datang lebih dulu, yaitu Hindu-Budha. Sehingga secara antropologis
atau pun sosiologis di Jawa dikenal dua varian Islam yang cukup berbeda secara
menyolok seperti tersebut di atas.[11] Sinkretis
antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan agama Jawi dengan
sendirinya juga datang dari kedua belah pihak. Faktor yang paling menonjol
dalam proses sinkretis antara Islam dan tradisi Jawa sehingga menghasilkan
agama Jawi dengan sendirinya juga datang dari kedua belah pihak. Sebelum hadir
agama-agama supra-nasional seperti Hindu, Budha, Islam, Katolik atau Kristen, bangsa
Indonesia telah hidup dalam sebuah alam religius yang sering disebut dengan
kepercayaan animisme dan dinamisme Agama ini disebut asli karena berasal dan
berakar dalam tradisi dan kultur setempat yang tidak diketahui secara pasti
kapan munculnya dan siapa pendirinya.
D. Contoh-contoh sinkretisme
Untuk lebih mengkongkritkan pengertian dan pemahaman tentang masalah
sinkretisme, berikut ini diuraikan beberapa contoh:
1. Menggabungkan dua agama atau lebih
dimaksudkan
untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara
kepercayan (lokal Jawa) dengan ajaran agama Islam dan agama lainnya,[12]
misalnya aliran ini mengajarkan sadat (syahadat) yang berbunyi sebagai berikut:
“Ashadu Allah ananingsun, anane ambekan, anane rasul, anane johar. Wa ashadu anane urip, anane mukamad,
anane nur, nur tegese padhang, johar tegese padhang, mukamad lan rasul iku
tegese cahya, nur johar tegese padhang”.
2. Bidang ritual
Bagi masyarakat tradisional, pergantian waktu
dan perubahan fase kehidupan adalah saat-saat genting yang perlu dicermati dan
diwaspadai. Untuk itu mereka mengadakan upacara peralihan yang berupa slametan, makan
bersama (kenduri), prosesi dengan benda-benda keramat dan sebagaimya. Begitu
pula sebelum Islam datang, di kalangan masyarakat Jawa sudah terdapat
ritual-ritual keagamaan. Hal ini diwujudkan dalam bentuk slametan yang berkait
dengan siklus kehidupan, seperti kelahiran, kematian, membangun dan pindah rumah, menanam dan memanen
padi, serta penghormatan terhadap roh para leluhur dan roh halus. Ketika Islam datang ritual-ritual ini tetap
dilanjutkan, hanya isinya diubah dengan unsur-unsur dari ajaran Islam. Maka
terjadilah islamisasi Jawaisme (keyakinan dan budaya Jawa).
Adapun
bentuk-bentuk dalam bidang ritual masyarakat yang masih dilakukan saat ini
yaitu :
2.1 Upacara Midodareni
Upacara Midodareni misalnya, adalah
suatu ritual yang dilangsungkan pada malam hari menjelang hari perkawinan.
Ritual ini dimaksudkan sebagai usaha keluarga pengantin untuk mendekati para
bidadari dan roh halus supaya melindungi kedua calon pengantin dari marabahaya
yang menganggu jalannya perkawinan dan hari-hari sesudahnya. Dikalangan muslim
yang taat dalam beragama, ritual ini diisi dengan pembacaan barzanji, kalimat
toyyibah, dan tahlil. Tapi dikalangan masyarakat yang kurang taat dalam
beragama, acara ini digunakan sebagai alasan untuk mengadakan lek-lekan
dan keplek sampai pagi.
2.2 Upacara brokohan dan sepasaran
Dalam Islam, ketika seorang bayi
lahir, ayah ibunya disyariatkan untuk melaksanakan aqiqah, dengan menyembelih
seekor kambing kalau yang dilahirkan perempuan, dan dua ekor kambing kalau yang
dilahirkan laki-laki. Namun kenyataan menunjukkan masyarakat muslim Jawa tidak
melaksanakan perintah ini. Sebagai gantinya mereka mengadakan upacara brokohan
(diadakan setelah bayi lahir ke dunia ni dengan selamat) dan sepasaran (ketika
bayi berusia lima hari), dengan harapan dan doa, agar anak yang dilahirkan
tersebut akan menjadi orang linuwih di kemudian hari.[13]
3. Dalam doa dan mantera
Salah satu jasa Sunan Bonang, dalam menyebarkan Islam di Jawa adalah
mengganti nama-nama dewa-dewa yang terdapat dalam mantera-mantera dan doa
dengan nama nabi, malaikat, dan tokoh-tokoh terkenal di dalam Islam. Dengan
cara ini diharapkan masyarakat berpaling dari memuja dewa-dewa dengan
menggantinya dengan tokoh-tokoh yang berasal dari dunia Islam berikut ini adalah dua contoh mantera dan doa :
3.1 Mantera atau doa untuk mendapatkan keperkasaan
jasmani:
Bismillahirrohmanirrohim “jabarail
sumurup maring Fatimah.fatimah sumurup maring badandu.kapracaya dening Allah
ta’ala.cikantik macan putih dudu macan putih.mangko iki macan putih saking
Allah.ia ilaha illa’llah Muhammad Rosulu’llah”. Doa ini dibaca setelah mandi 14 kali dalam semalam dan
memakan 80 biji kecipir
3.2 Mantera atau
doa untuk dapat menghilang.
Bismillhirrohmanirrohim. “Cur mncur cahyaning Allah, sungsum balung rasaning
pangeran,getting daging rasaning pangeran,otot lamat-lamat rsaning
pangeran.kulit wulu rasaning pangeran,iya ingsun mancuring allah jatining manungsa,ules
pulih Muhammad lungguhku, allah,nek putih rasaning nyawa,badan allah
sangkalebet putih iya ingsun nagara sampurna. .
E. Dakwah
Sinkretis Sunan Kalijaga
Sebelum Hindu datang ke Jawa, masyarakat Jawa
telah memiliki budayanya sendiri yang terlepas sama sekali dari tradisi lain
maupun agama. Akan tetapi, dengan datangnya agama Hindu, budaya Jawa kemudian
berbaur dengan tradisi Hindu sehingga kelak lahirlah apa yang dinamakan dengan kebudayaan
Hindu-Jawa. Setelah Islam datang ke Jawa, Islam juga berbaur dengan tradisi
Hindu Jawa ini, dan di sinilah terjadinya sinkretisasi antara Islam dan budaya
setempat Demikian pula Sunan Kalijaga sebagai orang asli Jawa, dia berpikir dia
menawarkan penggunaan budaya Jawa dalam menyebarkan Islam sinkretisasi, antara Islam
dan tradisi atau budaya Jawa dalam proses penyebaran Islam yang pernah
dipraktikkan Sunan Kalijaga salah satunya adalah dengan wayang.
Wayang merupakan salah satu komponen kebudayaan Jawa yang paling kompleks
dan canggih Memang, ada sisi lain yang dipandang sebagai sisi negatif dari
wayang, yaitu munculnya nilai-nilai syirik ketika dipadukan dengan ajaran
Islam. Karena itu, muncullah berbagai kritik terhadap ajaran yang mencoba
memadukan antara tradisi Jawa yang termuat dalam wayang dengan ajaran Islam,
seperti Sunan Kalijaga.
Menurut Mark, hal ini penting dijernihkan agar pandangan negatif tersebut
tidak menjalar. Penjelasan ini penting dalam arti agar mereka memahami betul
bagaimana sinkretisasi yang dilakukan Sunan Kalijaga.[14] kita
perlu mengelaborasi pemanfaatan kisah wayang dalam penyebaran Islam menurut Sunan
Kalijaga. Apa yang dilakukan Sunan Kalijaga mestinya dilihat bukan dari segi sinkretisnya
dalam arti negatif, sebagaimana diduga sebagian kalangan orang, yang harus
dilihat adalah dari segi inovasinya dan dialognya dengan budaya ulasan singkat
dari kisah pewayangan yang diadopsi dari tradisi Hindu-Jawa. Jika demikian,
pemanfaatan seni wayang oleh Sunan Kalijaga sangat tepat digunakan sebagai
sarana penyebaran ajaran Islam. Hal ini dilihat dari dua hal:
a. bertolak pada tipologi Geertz, wayang adalah ciri khas dari seni yang
halus, dan seni ini paling populer di masyarakat. Dalam hal ini, berarti Sunan
Kalijaga dalam menyebarkan Islam menggunakan pendekatan yang halus dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada masanya. Pendekatan ini, dari segi nilai,
tampaknya relevan dengan ajaran Islam yang secara normatif menganjurkan agar
kita mengajak umat untuk masuk Islam menggunakaan cara-cara
mau’idlah
hasanah, bukan dengan
kekerasan. Tradisi penyebaran Islam di negara-negara lain, pada
umumnya,menggunakan pendekatan militeristik, terutama di derah Timur Tengah
ketika Islam melakukan ekspansi ke daerah-daerah tetangga;
b. Penggunan seni wayang sebagai sarana penyebaran Islam oleh Sunan
Kalijaga menunjukkan kelihaian Sunan Kalijaga dalam memadukan unsur-unsur Islam
dan unsur-unsur budaya setempat, terutama dalam konteks masyarakat yang telah
hidup dengan tradisi. Hal ini mengasumsikan bahwa budaya atau tradisi tidak
bisa dipandang sebagai sesuatu yang lepas dari diri manusia. Tradisi merupakan
sesuatu yang inheren dalam diri manusia, bahkan tanpa tradisi, manusia tidak
mungkin bisa hidup. Ungkapan yang pas untuk menggambarkan hubungan manusia
dengan tradisi setempat bahwa manusia adalah bagian dari tradisi, bukan
sebaliknya, tradisi bagian dari manusia. Artinya, manusia berada di bawah
kendali tradisi. Oleh karena itu, menyebarkan Islam melalui jalan non-kompromis
terhadap tradisi, menurut peneliti, tampaknya mustahil terealisasi.
Hanya saja, perlu diketahui lebih jauh, adopsi kisah pewayangan tidak
berarti mengambil kisah itu secara mentah-mentah. Sunan Kalijaga mendialogkkan
nilai-nilai Islam dengan budaya setempat. Dengan kata lain, Sunan Kalijaga
menjalankan tradisi sebagaimna disenangi masyarakat Jawa, tetapi muatan dan
karakternya diisi dengan nilai-nilai Islam. Cara yang ditawarkan oleh Sunan
Kalijaga, misalnya, persyaratan masuk menonton bukan membayar uang sebagaimana
biasanya, melainkan dengan membaca kalimat syahadat.
Sekarang, mari kita beralih pada muatan filosofis dari tradisi wayang.
Dalam konteks ini, kita akan berbicara menyangkut isi dari apa yang ditawarkan
Sunan kalijaga. Sebenarnya sangat banyak pesan-pesan filosofis yang ditawarkan
Sunan Kalijaga. Satu di antaranya, sebagaimana dibicarakan di atas, adalah
tradisi wayang. Di dalam kitab tentang Sunan Kalijaga, terutama menyangkut
wayang, dinyatakan sebgai berikut:
“Jangan
begitu orang hidup. Badanmu bagaikanwayang yang dipentaskan di atas panggung.
Keindahan tali pengikat kelir melambangkan angin. Lampu yang menerangi panggung
bentangan kelir melambangkan bulan. Yang menonton melingkari gedung. Batang
pisang sebagai bumi, tempat tegaknya wayang, disangga oleh penanggap.” Pernyataan ini memberikan pesan bahwa Sunan
Kalijaga melakukan analogi antara badan manusia dengan wayang. Badan dilambangkan
sebagai wayang.
Artinya, tradisi wayang hanya kulit luarnya saja dalam kehidupan. Adalah
tugas kita untuk mengisi muatan dari wayang tersebut. Kita, kata Nabi,
jangan hanya melihat kulit luarnya, sebab Allah tidak melihat kulit luarnya,
seperti wajahmu, melainkan melihat hatimu. Artinya, janganlah melihat tradisi
wayangnya, tetapi lihatlah isi dari apa yang ditayangkan dalam
pewayangan. Jika dalam kisah Mahabarata memuat kisah legendaris versi Hindu,
sebaliknya, di dalam pewayangan yang ditampilkan Sunan Kalijaga, memuat
ajaran Islam.
[1] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan, (Yogyakarta:Gama
Media,2000)hal,83
[2]
http://theologyfaculty.blogspot.co.id/2012/05/sinkretisme-aliran-dan-agama.html?m=1
[3] Sutiyono,Puritan dan Sinkritisme,(Jakarta:Kompas
Media Nusantara,2010)hal, 71
[4] Ibid, hal, 72
[6] Niels Mulder, Sinkretisme Agama atau Agama Asia
Tenggaraa,(basis:1992)hal, 285
[7] Clifford Geertz. 1970. The Interpretation of culture.
New York: Basic Books, pp. 87-125
[8] Ibid., p. 112.
[9] Geertz, op. cit., p. 250.
[10]
http://bangunaninteletual.wordpress.com/2008/05/16/sinkretisme-sebagai-bentuk-dan-ciri-islam-jawa/
[11] J.W.M. Bakker, 1976, Agama Asli Indonesia,
Yogyakarta: Puskat, hlm. 217-218.
[13] Drs. H. M. Darori Amin, MA, Islam dan Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta:Gama Media, 2000), hlm 99-100
[14] Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan(Yogyakarta:
LKiS, 1999), hal. 319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar